NewsKami, Sleman - Ribuan pengunjuk rasa yang tergabung dalam Jaringan Gugat Demokrasi (Jagad) menggelar demo di Pertigaan Gejayan, Jalan Colombo, Caturtunggal, Depok, Sleman, DIY, Senin (12/2) sore.
Para demonstran menuntut 11 poin dalam aksi ini, di antaranya menuntut permintaan maaf intelektual dan budayawan yang mendukung politik dinasti dan menghentikan politisasi bansos.
Aksi dimulai di kawasan Bunderan UGM. Di situ aksi massa
melakukan simbolis pembunyian tujuh kentongan dan pemecahan tujuh kendi. Humas
Jaringan Gugat Demokrasi, Sana Ulaili menjelaskan tujuh kepentingan yang dibunyikan
di awal aksi bermakna sebagai angka tujuh atau pitu yang merujuk pada
pitulungan atau pertolongan.
Berdasarkan pantauan, akses lalu lintas Pertigaan Gejayan
ditutup. Sementara sejumlah anggota kepolisian nampak berjaga mengamankan
lokasi aksi.
Sebelumnya diberitakan, akun media sosial Aliansi Rakyat
Bergerak menyerukan aksi 'Gejayan Memanggil Kembali' untuk memprotes nasib
demokrasi yang semakin mundur dan dugaan kecurangan dalam proses pemilu 2024 di
era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Rapatkan barisan, bersama turun ke jalan,"
demikian bunyi undangan yang diterima.
Aksi ini disebutkan bakal melawan kecurangan dalam pemilu
atau pilpres 2024 yang didalangi oleh Jokowi.
"Kecurangan dalam Pemilu/Pilpres 2024 harus dilawan
karena jelas kita tidak sedang melakukan perang tanding yang setara. Kecurangan
yang didalangi oleh Jokowi sudah bersifat terstruktur, sistemik, dan masif
(TSM)," demikian bunyi keterangan tersebut.
Dalam aksi ini, demonstran Jaringan Gugat Demokrasi
menyatakan 11 poin tuntutan. Tuntutan tersebut di antaranya yakni merevisi UU
Pemilu dan partai Pembobolan badan independen. Lalu mengadili Jokowi dan
kroni-kroninya. Menuntut permintaan maaf intelektual dan budayawan yang
mendukung politik dinasti. Menghentikan politisasi bansos. Mencabut UU Cipta
Kerja dan Minerba. Menghentikan kepada militer dan menuntaskan pelanggaran HAM
serta memberikan hak untuk menentukan nasib sendiri. Menghentikan perampasan
tanah. Menghentikan kriminalisasi aktivis lingkungan. Menjalankan pengadilan
HAM. Melaksanakan pendidikan gratis dan mengesahkan UU PPRT.
"Maka kami menuntut satu, bahwa Jokowi karena telah
terbukti melakukan pelanggaran konstitusi dan telah merusak etika demokrasi,
dia harus dihukum, Jokowi harus turun, Jokowi harus kita kawal ketat tidak
hanya pada 14 Februari tetapi seluruh elemen gerakan masyarakat sipil harus
memastikan dia turun sebelum masa jabatannya," lanjutnya.
Di sisi lain, secara tegas Sana menyatakan aksi massa ini
bukan lah kampanye untuk mendukung calon tertentu. Melainkan murni untuk
menghentikan tirani rezim yang sedang berkuasa.
"Kami tidak sedang berkampanye 04. Kami tidak sedang bertambahnya 05, tetapi kita sedang mengkampanyekan saatnya kita kritis, saatnya kita turun jalan untuk menghentikan tirani Jokowi," tandasnya.
Perwakilan BEM KM UMY, Siti Mauliyani menambahkan nima
gerakan hari ini berangkat dari keresahan serta kemarahan beragam elemen
terhadap berbagai macam bentuk pelanggaran serta penjatuhan marwah hukum.
"Kepentingan-kepentingan yang kemudian dibawa para elit
politik hari ini bisa dikatakan sebagai para elit politik yang tuna etika dan
tidak pernah memikirkan bagaimana kondisi masyarakat hari ini," ungkapnya.
Tidak hanya itu, Siti juga menilai jika demokrasi kini tidak
memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurutnya, demokrasi malah digunakan sebagai
alat untuk melanggengkan kekuasaan elit politik.
"Demokrasi hari ini tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tapi dijadikan sebagai alat atau jembatan untuk melanggangkan kekuasaan para elit politik," tegasnya.